Sri Handoyo Mukti
Sekitar tahun 2002, kami sedang melakukan kajian mengenai Kawasan Perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak. Kebetulan kami mendapat undangan untuk ikut Tim Pemprov Kalbar untuk meninjau ke Nanga Badau, salah satu kecamatan di perbatasan antara Kalbar dengan Sarawak, Malaysia. Saya dan Pak Wanto ditugaskan kantor untuk ikut Tim Pemprov.
Sekitar tahun 2002, kami sedang melakukan kajian mengenai Kawasan Perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak. Kebetulan kami mendapat undangan untuk ikut Tim Pemprov Kalbar untuk meninjau ke Nanga Badau, salah satu kecamatan di perbatasan antara Kalbar dengan Sarawak, Malaysia. Saya dan Pak Wanto ditugaskan kantor untuk ikut Tim Pemprov.
Saya dan Pak Wanto tiba di Pontianak sore dan menginap di Hotel Merpati (tanggalnya lupa) . Hari itu juga saya konfirmasi keikutsertaan ke Badau.Saat itu pasca kejadian kasus bentrok antara Madura dan Dayak, dimana suasana masih mencekam, pengungsi di Kota Pontianak yang ditampung di penampungan juga masih ada. Besoknya, kami berkumpul di kantor Bappeda Prov yang terletak di daerah belakang Kantor Gubernur. Sekitar jam 7 pagi rombongan yang terdiri dari jajaran pemprov dan dinas-dinasnya serta undangan dari instansi pusat bertolak ke Entikong (salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sarawak), dimana di Entikong ini sudah ada PPLB (Pos Pengawas Lintas Batas). Dalam perjalanan, kami sempat mampir di Sungai Pinyuh untuk minum kopi sambil makan telur penyu, saya habis 2 telur, sedangkan Pak Wanto sama sekali tidak doyan. Saya dan Pak Wanto ikut mobil Bappeda selama perjalanan. Perjalanan Pontianak Entikong dapat ditempuh selama 7 jam dimana jarak Pontianak Entikong adalah sekitar 310 km dan melewati kecamatan-kecamatan Tarang, Batang Tarang, Sosok, Kembayan. Setiba di Entikong, siangnya kami diskusi di Kantor Camat dan malamnya diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kami bermalam di Balai Karangan (desa) yang terletak di Kec Sekayam, tetangga Kec. Entikong.
Besok paginya kami meninjau PPLB Entikong, melakukan wawancara, men cap pasport kemudian melewati Tebedu, kota yang bersebelahan dengan Entikong di Sarawak, melewati Kota Sirian di Sarawak dan mengambil jalan keutara (kalau ke selatan kita menuju Kuching, ibukota Serawak), jalan lintas di Serawak menuju Miri dan Brunei. Perbedaan yang sangat mencolok antara Kalbar dan Sarawak adalah dalam hal infrastruktur jalan dan fasos fasumnya, seperti di Kota Lubuk Antu kota yang bersebelahan dengan Kec Nanga Badau, disana fasilitas perkotaan serta infrastruktur jalan sudah baik bahkan sudah ada Hotel Seraton. Melewati Lubuk Antu, masuk kembali ke wilayah RI kami melewati jalan rusak yang menandakan telah berada di wilayah RI. Kami ke kec. Badau dan menginap di barak-barak milik kehutanan, sedangkan beberapa anggota dprd menginap dirumah pak camat. malam harinya kami melakuka pertemuan dengan tokoh setempat.
Paginya kami berkeliling ke kecamatan yang bersebelahan dengan Nanga Badau seperti Kec Puring Kencana dimana di kecamatan ini terdapat Taman Nasional Betung Karihun serta Danau Sentarum. Jalan-jalan di perbatasan saat itu kualitasnya masih jalan batu (kerakal) atau macadam. Kami tiba di Danau Sentarum malam dan kemudian melakukan diskusi dengan tokoh-tokoh setempat. Pada Pagi harinya kami turun ke danau (penginapan kami ditepi danau) dan naik speed boat ke pulau ditengah-tengah danau. Menurut cerita pengelola penginapan, banyak turis berkunjung ke danau sentarum dan TN Betung Karihun, tetapi menginap di Lubuk Antu Serawak.
Dari perjalanan tersebut, kami merasakan banyak sekali permasalahan yang harus dibenahi di perbatasan, mulai dari koordinat batas (waktu itu GPS masih barang langka) budaya masyarakat, perkebunan, penyelundupan kayu ilegal, human trafficking serta yang paling penting adalah mau diapakan perbatasan kalimantan kedepan, khususnya wilayah jantung kalimantan yang merupakan kawasan yang dilindungi.
Dalam kunjungan ke beberapa daerah di sekitar nanga badau, kami juga sempat mengunjungi lokasi penggergajian kayu illegal yang telah ditutup, tetapi waktu kami tiba disana masih ada kegiatan penggergajian serta masih terdapat alat berat (traktor) yang masih tertinggal milik pengusaha kayu ilegal.
Setelah 2 hari kami menginap di perbatasan, kami kembali ke Pontianak (sebagian langsung, sebagian ke Kuching dulu). Memang sangat ironi kami harus berkunjung ke wilayah RI tetapi harus melewati wilayah tetangga dulu. Di perjalanan, mobil rombongan ada yang mogok. Selama menunggu mobil mogok, saya memperhatikan bahwa truk-truk yang mengangkut kayu ilegal hilir mudik hampir setiap 15 menit di perbatasan tanpa aral melintang baik disisi RI maupun Malaysia. Di Sirian, kami berhenti sebentar, Pak Wanto ikut mobil yang langsung ke Pontoanak sedangkan saya ikut rombongan pemda yang menginap di Kuching.
Di Kuching kami menginap di Hotel kecil (saya ikut aja kemana orang pemda) kalau tidak salah Hotel Taufik, kami sempat makan di Taman Kereta, setelah itu kami beristirahat. Esoknya orang pemda ada yang ingin beli buku di salah satu toko buku di Kuching (malamnya kami datang sudah tutup), kami menunggu hingga toko buka, kemudian kami mampir ke pasar beli ikan untuk selanjutnya kami bertolak kembali ke Pontianak. Kami sempat makan siang di Balai Karangan sekitar jam 3 sore, dan kami tiba di Pontianak sekitar jam 10 malam. Saya mencari hotel dan menginap di Hotel (lupa) Pontianak. Besoknya saya sulit sekali mencari tiket, untungnya saya dibantu oleh teman dari Bapedalda dan anggota DPRD Prov. sehingga saya bisa terbang kembali ke Jakarta. Hasil kunjungan ini serta kunjungan ke Nunukan dan Kota Kinabalu (akan saya tulis kemudian) merupakan bahan untuk penulisan buku kami yang berjudul : "Perbatasan Kalimantan RI - Malaysia, Permasalahan dan Konsep Pengembangannya"
Senang sekali bisa menemukan tulisan ini Mas, bagai menemukan sebuah guide yang tidak tersedia di toko buku. Terimakasih udah share. Amat sangat berguna, karena saya ingin mengadakan kunjungan kesana dalam waktu dekat. Salam
BalasHapus