Kamis, 16 Desember 2010

Sistem Kendali Otomatis Kereta Api (Automatic Train Control System)

Sejarah perkeretaapian di Indonesia ditandai dengan dibukanya pembangunan jalan kereta api pada tahun 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Temanggung sepanjang (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm, (yang kemudian pembangunannya diteruskan hingga ke Solo). Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum. Kemudian pada tahun 1870 ada penambahan panjang rel yang menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA didaerah lainnya. Dengan bertambahnya tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 jalan rel melaju dengan pesat yaitu tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km.


Selain di Jawa, pembangunan jalan KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawasi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara Makasar - Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923. Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA disana.

Jenis jalan rel KA di Indonesia semula dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm dibeberapa lintas cabang dan tram kota. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam "Angkatan Moeda Kereta Api" (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya "Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI).

Dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia peran kereta api sangatlah besar. Sejarah mencatat peran kereta api dalam distribusi logistik untuk keperluan perjuangan dari Ciporoyom (Bandung) ke pedalaman Jawa Tengah, mobilisasi prajurit pejuang di wilayah Jogjakarta-Magelang-Ambarawa. Hijrahnya pemerintahan republik Indonesia dari Jakarta ke Jogjakarta tahun 1946 tidak lepas pula dari peran kereta api. Tanggal 3 Januari 1946 rombongan Presiden Soekarno berhasil meninggalkan Jakarta menggunakan kereta api, tiba di Jogjakarta tanggal 4 Januari 1946 pukul 09.00 .


Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mencatat pengambilalihan kekuasaan perkereta-apian dari pihak Jepang oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) pada peristiwa bersejarah tanggal 28 September 1945. Pengelolaan kereta api di Indonesia telah ditangani oleh institusi yang dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Institusi pengelolaan dimulai dengan nasionalisasi seluruh perkereta-apian oleh Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang kemudian namanya dipersingkat dengan Djawatan Kereta Api (DKA), hingga tahun 1950. Institusi tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 dengan PP. No. 22 tahun 1963, kemudian dengan PP. No. 61 tahun 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Perubahan besar terjadi pada tahun 1998, yaitu perubahan status dari Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api (persero), berdasarkan PP. No. 19 tahun 1998.

Perkembangan dalam dunia kereta api di Indonesia terus berlangsung, begitu pula dengan teknologinya. Tanggal 31 Juli 1995 diluncurkan KA Argo Bromo (dikenal juga sebagai KA JS 950) Jakarta-Surabaya dan KA Argo Gede (JB 250) Jakarta-Bandung. Peluncuran kedua kereta api tersebut mendandai apresiasi perkembangan teknologi kereta api di Indonesia dan sekaligus banyak dikenal sebagai embrio teknologi nasional.

Kemampuan dalam teknologi perkereta-apian di Indonesia juga terus berkembang baik dalam prasarana jalan rel maupun sarana kereta apinya. Dalam rancang bangun, peningkatan dan perawatan kereta api, perkembangan kemampuan tersebut dapat dilihat di PT. Inka (Industri kereta Api) di Madiun, dan balai Yasa yang terdapat di beberapa daerah.

(Sumber : PT. KAI)
 
 
Dengan terbitnya UU baru di sektor perhubungan, maka UU Perkeretaapian juga turut berubah. UU 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian serta PP 56/2009 tentang penyelenggaraan perkeretaapian serta PP 72/2009 tentang lalu lintas dan angkutan kereta api diharapkan dapat memajukan perkeretaapian nasional. Dalam UU 23/2007 sistem manajemen kelembagaan saja yang banyak perubahan tapi dalam sistem pengoperasiannya masih tetap sama, yaitu masih manual. 
 
Belum lama ini terjadi kecelakaan kereta di stasiun dimana kereta yang sedang berhenti ditabrak dari belakang oleh kereta lain. Dari beberapa berita dikatakan bahwa hal ini adalah kesalahan masinis yang melanggar sinyal masuk. Hal ini tentunya tidak akan terjadi jika sistem monitoring dan sistem pengendalian sudah dirancang secara otomatis dan terintegrasi.
 
Sebenarnya di BPPT sedang dilakukan kajian mengenai sistem kendali otomatis kereta api, dimana dirancang suatu ATC (Automatic Train Control) yang akan memonitor dan mengendalikan pergerakan kereta dan sistem persinyalannya. Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan prototype yang akan dikembangkan oleh industri nasional seperti LEN dan Inka. Walaupun hasil yang diharapkan masih cukup panjang, tetapi implikasi penerapan sistem kendali otomatis pada kereta api akan berdampak pada regulasi perkeretaapian yang baru diluncurkan tahun 2007, karena masih bertumpu pada teknologi yang bersifat manual. Penerapan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat keselamatan sistem perkeretaapian nasional serta mendorong kemandirian dalam teknologi. (Sumber : BPPT)
 
Catatan :

An Automatic Train Control system (ATC) is where the train receives data at all times in order to maintain the correct speed and prevent trains from passing stop signals if the driver should fail to react. It is used on almost all passenger railways services.
Automatic Train Control (ATC) is a train protection system for railways, ensuring the safe and smooth operation of trains on ATC-enabled lines. Its main advantages include making possible the use of cab signalling instead of track-side signals, and the use of smooth deceleration patterns in lieu of the rigid stops encountered with the older ATS technology. ATC can also be used with Automatic Train Operation (ATO). There are several implementations and versions of ATC, and each is different.


ATC was first introduced in 1961 in a Tokyo subway line for continuous brake control by sending information from the ground equipment. Three years later, when the Tokaido Shinkansen started operation, ATC played an indispensable role for making high-speed operation into reality. Now, ATC is used both for high-speed trains and urban transit line with high operational density.


The current ATC system detects train position through track circuit and transmits signal from the ground. In order to secure high reliability, the system employs 2-out-of-3 redundant system configurations.

*Note: In some countries, 'ATC' here is also called 'ATP (Automatic Train Protection)'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar