Kamis, 18 Maret 2010

SEPUTAR INDUSTRI BAJA NASIONAL

Kondisi Industri Baja Nasional
Kebutuhan baja di Indonesia yang saat ini sekitar 6 juta ton per tahun, dipasok dari dalam negeri hanya 4 juta ton dan sisanya sekitar 2 juta ton impor. Hal ini sangat ironis mengingat pasokan baja domestik kelebihan sampai 2,5 juta ton atau 50 persen dari produksi riil sekitar 4 juta ton per tahun. Kelebihan pasokan tersebut menyebabkan industri baja memasuki fase rawan. Produk baja yang tidak terserap pasar, adalah jenis long product dan flat product segala ukuran.

Tidak terserapnya pasokan baja domestik diakibatkan oleh :
· Rendahnya penyerapan baja pada proyek infrastruktur,
· Serbuan baja impor illegal
· Praktek dumping negara lain

Proyek infrastruktur seharusnya mengutamakan produk baja nasional. Pemerintah akan segera mengeluarkan tata niaga impor baja. Dalam materi pokok tata niaga impor baja, disepakati bahwa impor baja hanya bisa dilakukan oleh importir produsen dan importir terdaftar. Ada 202 pos tarif yang dicantumkan dalam tata niaga tersebut. Impor baja yang diperketat adalah yang sudah diproduksi di Indonesia, misalnya baja lembaran canai panas atau hot rolled coil (HRC), baja lembaran atau hot rolled plate (HRP), dan besi beton. Tata niaga impor baja itu juga membatasi impor baja dilakukan di pelabuhan tertentu. Sedangkan untuk jenis baja yang belum bisa diproduksi di Indonesia tidak diatur dalam tata niaga. Jenis baja yang harus diimpor adalah stainless steel atau baja untuk komponen otomotif.

Data Departemen Perindustrian, produksi nasional industri baja tahun 2008 sebesar 8,9 juta ton per tahun dengan tingkat utilisasi 59,8 persen. Namun, krisis ekonomi menyebabkan produksi baja kian turun, dari 4,16 juta ton menjadi 4,08 juta ton.

Industri baja merupakan salah satu sektor industri yang terkena dampak krisis ekonomi global. Maraknya impor produk besi dan baja menyebabkan 14 pabrik paku bangkrut pada akhir tahun 2008. Pabrik-pabrik itu mengurangi produksi karena permintaan menurun. Tahun 2009 utilisasi pabrik besi dan baja tinggal 20-40 persen.

Pemerintah akan melakukan pertemuan dengan pengusaha dan Bank Indonesia. Pertemuan itu untuk membahas langkah skenario penyelamatan industri yang dinilai rawan. Terutama untuk industri manufaktur yang pemakaian tingkat produksinya (utilisasi) sudah di bawah 50 persen dan industri yang kandungan ekspornya jeblok.
(sumber : Niekke Indrietta, http://www.korantempo.com/, 20 Februari 2009)

Globalisasi Perdagangan Dunia
Datangnya era globalisasi ibarat cambuk api bagi sektor ini untuk keluar dari sangkar kegelapan. Dalam lingkaran rezim globalisasi yang sarat oleh proyek ekonomi neoliberal, pasar didoktrin sebagai panglima. Untuk menguasai pasar, produsen baja dituntut lebih kreatif dan tangguh agar bisa memenangkan persaingan. Mereka harus mampu menguasai perangkat teknologi produksi dan teknologi informasi (TI) yang pada saat bersamaan tengah mengalami revolusi besar. Globalisasi terbukti mampu mengubah segalanya termasuk memacu laju pertumbuhan ekonomi dunia. Sektor baja hanyalah salah satu industri yang mengalami fase renaissance (pencerahan) akibat datangnya kekuatan besar ini.

Laju pertumbuhan ekonomi dunia yang kian stabil, menggiring peningkatan konsumsi baja global ke titik tertinggi akibat pertumbuhan sektor konstruksi yang melambung, terutama di wilayah-wilayah pasar baru, khususnya China. Sejak 2001, pertumbuhan pasar baja telah melampaui 7,5%. Pada saat yang sama, sektor baja mulai menjadi industri manufaktur yang kian menguntungkan karena harga baja di pasar global terus meningkat. Bahkan pada 2011, harga HRC/CRC (baja lembaran panas/baja lembaran dingin) diprediksi bakal mencapai di atas US$600 per ton, terutama di Uni Eropa.

Aliansi Strategis Industri Baja Dunia
Laporan terbaru yang dilansir International Iron and Steel Institute (IISI) menyimpulkan kondisi industri baja dunia saat ini sedang bergairah. Tindakan ekspansi lewat merger, akuisisi, dan konsolidasi terjadi di mana-mana. Fenomena ini terjadi sejak memasuki milenium kedua.
Pada era 1950-an, kondisinya sangat bertolak belakang. Industri baja global di masa itu mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) karena terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara produksi dan konsumsi sehingga produsen sulit berekspansi. Situasi ini sempat memicu terjadinya stagnasi pertumbuhan industri baja global.
Akibatnya, harga baja dunia pernah mencapai titik terendah yakni berkisar US$90 hingga US$100 per ton, yang bertahan dalam rentang waktu cukup lama.
Rentetan tersebut secara otomatis berimbas ke dalam tubuh para pemainnya. Para pemegang saham perusahaan baja mendapatkan keuntungan yang tidak sesuai harapan akibat return yang terlalu kecil.

Tabel 5 Produsen baja terbesar di dunia (maaf format berantakan, tdk bisa ditampilkan)

Pada milenium II ini, sisa-sisa fase pencerahan itu ternyata melahirkan ide baru berupa tahap konsolidasi. Pada tahap mutakhir ini perusahaan-perusahaan baja besar yang memiliki satu visi dan misi menjalin aliansi strategis. Penyatuan itu mendorong industri baja dunia bisa memuluskan program restrukturisasi besar-besaran yang meliputi sumber daya manusia, manajemen organisasi, hingga mesin dan peralatan produksi. Salah satu yang paling fenomenal adalah kelahiran Arcelor-Mittal di panggung global.
Arcelor lahir dari merger tiga perusahaan baja raksasa Uni Eropa yakni Arceralia (produsen baja Spanyol) berkapasitas 10 juta ton per tahun, Arbed (Luxemburg) berkapasitas 14 juta ton, dan Usinor (Prancis) berkapasitas 21 juta ton. Ketiga produsen baja besar tersebut bergabung menjadi Arcelor Steel. Produksi Arcelor pada 2002 tercatat mencapai 45 juta ton.
Mittal Steel adalah perusahaan yang lahir dari merger perusahaan baja keluarga Mittal dengan LNM Holdings NV, Ispat International, dan ISG-USA. LNM Holdings sendiri juga lahir dari merger beberapa produsen baja UE, Asia, dan Afrika (Iscor). Setelah merger berlangsung sukses, Mittal Steel menjadi produsen baja yang meraksasa. Saat ini kemampuan produksinya mencapai 70 juta ton setahun.
Arcelor dan Mittal berhasil merampungkan proses merger pada 25 Juni 2006 dengan nama Arcelor-Mittal. Kedua perusahaan baja raksasa itu menghasilkan produksi baja hingga 125 juta ton.
Sampai 2005, Arcelor tercatat sebagai produsen baja terbesar kedua di dunia, satu level di bawah Mittal yang menjadi produsen terbesar nomor wahid di dunia. Sampai detik ini, 'duet' Arcelor-Mittal masih menjadi penguasa tunggal pasar baja global.
Mega merger lain yang sekarang tengah berlangsung adalah antara Corus (grup Inggris -Belanda) dan Tata Steel (India) dengan nilai transaksi US$13,7 miliar. Konsolidasi Arcelor-Mittal merupakan sebuah tanda dimulainya era baru globalisasi di industri baja di mana Arcelor-Mittal dan Corus-Tata makin masuk dalam kancah 'perang terbuka' dan persaingan untuk menguasai pasar yang sedang tumbuh sekaligus berebut sumber baru bahan baku di muka bumi. Tata, kemungkinan akan memperluas usaha dengan membeli perusahaan kabel berkualitas tinggi dan pertambangan hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Posisi Indonesia
Tentu tak mudah bagi industri baja Indonesia untuk menghadapi rezim globalisasi yang kekuasaannya kian menggurita. Apalagi, Indonesia sudah pasti menjadi incaran para gurita tadi mengingat kandungan bijih besi dan potensi pasarnya demikian besar. Namun pada saat yang sama, posisi tawar Indonesia justru semakin lemah di hadapan mereka.
Apa sebabnya? Tidak lain karena struktur dasar industri baja nasional masih sangat lemah sehingga menyebabkan sektor hulu (up-stream) dan hilir (down-stream) tidak berkembang.
Menurut Menperin, industri otomotif nasional yang telah berkembang sejak 35 tahun lalu hingga sekarang masih harus mengandalkan pelat baja impor sebagai bahan baku utama.

Tabel Konsumsi baja dunia vs BRIC (Brasil, Rusia, India, China) -> maaf format berantakan tidak bisa ditampilkan

Minimnya investasi, kualitas produk dan sumber daya manusia yang relatif rendah, inefisiensi produksi dan manajemen, serta ketiadaan dukungan riset membuat nasib sektor baja nasional semakin tak berdaya di panggung internasional dari waktu ke waktu.
Tak heran di tengah konsumsi baja yang cukup besar yakni sekitar 6 juta ton (2006), industri baja nasional hanya mampu menyediakan sekitar 4 juta ton yang sebagian besar dipasok PT Krakatau Steel (PT KS) sebanyak 2,5 juta ton.
Dengan defisit produksi 2 juta, tentu dengan mudah produk baja impor membanjiri pasar dalam negeri. Apalagi dengan kapasitas produksi yang demikian besar, produksi mereka tentu sangat efisien sehingga harganya pun bisa jauh lebih murah. Akibatnya, pasar baja domestik terdistorsi dan keuntungan perusahaan lokal terus tergerus seiring kekuatan daya saing yang kian menipis.
Bahkan, PT KS pada 2006 terpaksa harus mengalami kerugian yang serius yakni mencapai Rp194 miliar. Ini merupakan situasi yang sangat ironis di tengah pesta pora industri baja global yang tengah menikmati keuntungan besar.

Lantas adakah konsep jitu untuk menyelamatkan sektor baja dari kehancuran?
Posisi kita amat lemah di hadapan produsen baja dunia, tapi setidaknya kita masih memiliki sumber bahan baku bijih besi yang masih bisa dioptimalkan.
Potensi Deposit Bijih Besi Indonesia
Menurut data Kementerian ESDM, bumi Indonesia memiliki kandungan bijih besi tak kurang dari 320, 43 juta ton. Namun sayangnya, deposit yang sangat besar ini masih berada di tempatnya dan belum bisa dimanfaatkan karena membutuhkan investasi besar.
Wapres Jusuf Kalla pun telah meminta PT KS agar secepatnya mengoptimalkan pemanfaatan sumber bijih besi di Kalsel untuk mengurangi ketergantungan impor dengan meningkatkan produksi baja. Bahkan Kalimantan diproyeksikan akan dijadikan pusat industri baja nasional. Sebuah ambisi sekaligus cita-cita besar yang patut didukung.
Tapi sekali lagi, langkah ini pun masih menyisakan masalah. Studi kelayakan bisnis yang dilakukan PT KS akhirnya macet, karena BUMN baja ini harus berurusan dengan sekelompok penguasa lahan pertambangan yang menjadi pemilik izin kuasa penambangan (KP) dari pemprov setempat.
Seharusnya, masalah sektoral ini bisa cepat dituntaskan apabila pemerintah memiliki political will yang kuat dalam memperkuat struktur industri nasional lewat pengembangan sektor baja secara serius.
Industri baja merupakan mother industry yang menjadi tumpuan sekaligus menentukan kekuatan struktur industri di suatu negara. Dengan bekal deposit bijih besi 320, 43 juta ton, sejatinya Indonesia dapat menjadi pemain baja yang diperhitungkan di kancah global karena memiliki 'bola' di tangan. Tinggal ke mana dan kepada siapa 'bola' ini akan diarahkan. (Sumber : Yusuf Waluyo Jati, www.unisosdem.org)

Urgensi Permasalahan
Dari uraian kondisi industri baja nasional diatas, maka industri baja nasional memiliki permasalahan yang cukup kompleks, serta tantangan kedepan yang cukup berat. Sementara permasalahan di Industri baja nasional masih mengalami berbagai keterbatasan, kita sudah dihadapi pasar bebas ASEAN-Cina yang segera harus diimplementasikan. Secara ringkas hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya pembenahan industri baja nasional diuraikan secara ringkas sebagai berikut.

Implementasi FTA Asean-China Tahun 2010
Setelah terkena dampak krisis global yang menyebabkan harga baja internasional turun lebih dari 50%, berbagai faktor penghambat pertumbuhan industri baja nasional kembali muncul. Salah satu hambatan besar dalam pertumbuhan industri baja nasional adalah penerapan Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China yang rencananya akan dilaksanakan awal 2010.
Ekonom Faisal Basri mengingatkan, yang diharapkan dari sektor industri baja nasional adalah agar dalam FTA ASEAN–China, sektor industri baja dimasukkan dalam kategori HSL (Highly Sensitive List), yang penerapannya dimulai pada 2018. "Apabila penerapan FTA ASEAN–China tetap dipaksakan, maka akan berakibat membanjirnya produk impor dari China yang tentunya akan menghancurkan industri baja nasional dan memunculkan PHK secara besar-besaran," kata Faisal menjelang seminar Free Trade Agreement ASEAN-Cina: Malapetaka Industri Nasional, Selasa (15/12).

Konsolidasi Global
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, industri baja dunia mengalami perubahan peta produksi dan penguasaan pasar karena adanya merger/aliansi strategis produser-produser baja papan atas. Dengan kapasitas yang semakin besar serta penguasaan pasar yang luas dari industri-industri baja dunia, maka produksi dapat dilaksanakan lebih efisien. Industri baja nasional harus merestrukturusasi diri menghadapi tantangan global seperti ini. Kesiapan dan kesamaan persepsi sangat dibutuhkan dalam menyikapi tantangan yang sudah didepan mata ini.

Menurunnya Daya Saing Industri Nasional
Berbagai polemik seperti disorganisasi struktur, tingginya kandungan impor, lemahnya penguasaan teknologi, rendahnya kualitas SDM, dan tingginya suku bunga perbankan menyebabkan industri manufaktur mengalami kemunduran. Kekosongan yang terjadi di struktur industri tengah (hollow middle) menyebabkan ketidakselarasan aliran industri dari hulu ke hilir. Hal ini menyebabkan daya saing Indonesia semakin merosot hingga ke peringkat 51 dari 55 negara (dalam catatan International Institute for Management Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008).
Sumber lain versi World Economic Forum menunjukkan daya saing Indonesia (54) masih lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Rendahnya daya saing itu menunjukkan betapa Indonesia masih belum siap menghadapi perdagangan bebas.

Lemahnya daya saing industri baja nasional dapat dilihat dari berbagai aspek yang saling terkait satu dengan lainnya, diantaranya adalah :
· Struktur industri hulu-hilir yang lemah
· Minimnya investasi
· Sumberdaya manusia yang rendah
· Inefisiensi produksi dan manajemen
· Tidak adanya dukungan riset

Permasalahan Dalam Proses Produksi dan Manajemen
Permasalahan dalam proses produksi dan manjemen secara umum dapat dikategorikan dalam :
Umum
• Produksi baja (2005) 4 – 5 juta ton, kebutuhan 5 – 6 juta ton (30 trilyun rupiah per tahun)
• Tersedotnya bahan baku dan energi ke Cina (1/3 konsumsi baja dunia = 350 juta ton/tahun)
• Tambang dan pengolah bijih besi dikuasai asing, pellet industri besi nasional diperoleh impor (100 %) sedangkan scrap baja 60-70 % impor
• Teknologi yang dikembangkan untuk pengolahan bijih besi tidak terintegrasi
• Cadangan bijih besi Indonesia cukup besar (1.300 juta ton)
• Harga produk baja Cina lebih murah 20 % (harga pasar dunia 400 USD/metrik ton, Cina 380 USD/metrik ton)

Aspek Energi
• Kebutuhan gas alam industri baja nasional terus meningkat (112.000 MMSCF pada tahun 2015), tahun 2005 43.00 mmscf
• Biaya energi (2005) sekitar 15 % dari biaya produksi
Aspek Proses Produksi
• Bahan baku impor : bijih besi, slab, billet, scrab, HRC, CRC mengalami kenaikan
• Kenaikan TDL listrik ( 17 % biaya produksi)
• Permasalahan efisiensi industri hulu dan hilir
• Permasalahan : pemilihan teknologi dan pengelolaan aset teknologi yang kurang tepat
• Kandungan lokal rendah
• Butuh visi kedepan dan TRM

Logistik Dan Fasilitas
• On time delivery tidak kompetitif
• Pant availability rendah
• Kurangnya pasokan iron ore pallet
• Kurangnya pasokan gas
• Lemahnya pengelolaan persediaan suku cadang

Manajemen Teknologi
• Supply bahan baku
• Daya beli
• Produk pengganti
• Pesaing baru
• Keunggulan industri
• Inovasi : peningkatan produktivitas, mengurangi biaya produksi, efisiensi bahan bakar/energi, memperbaiki kinerja lingkungan

Potensi Pengembangan Industri Baja Nasional
Indonesia dianugerahi sumberdaya alam yang sangat berlimpah diantaranya adalah bijih besi. Deposit sekitar 320,40 juta ton bijih besi merupakan potensi yang besar untuk menjadikan Indonesia menjadi produsen baja yang tangguh. Namun demikian sejumlah hambatan dalam investasi saat ini menghalang-halangi investasi baru di Indonesia selainnya melimpahnya produk baja dari Cina dengan harga yang miring. Selain potensi bahan baku yang berlimpah, Indonesia juga memiliki potensi pasar yang cukup besar, dengan membenahi kelemahan struktur industri baja nasional. Dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan baja per kapita nasional masih sangat besar.

Retrukturisasi Industri Baja Nasional
Untuk membenahi industri baja nasional menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi perlu dirumuskan kebijakan nasional yang terintegrasi dalam mengangkat dan meningkatkan daya saing industri baja nasional. Untuk itu dibutuhkan suatu kebijakan yang terintegrasi lintas sektor guna menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri baja di Indonesia secara sehat. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai industri baja nasional, dibutuhkan suatu kajian berupa audit teknologi secara menyeluruh untuk memberikan masukan berupa rekomendasi bagi penyusunan kebijakan restrukturisasi industri baja nasional yang melibatkan kerjasama lintas sektor dan kementerian.

1 komentar: