Kamis, 18 Maret 2010

SEPUTAR INDUSTRI BAJA NASIONAL

Kondisi Industri Baja Nasional
Kebutuhan baja di Indonesia yang saat ini sekitar 6 juta ton per tahun, dipasok dari dalam negeri hanya 4 juta ton dan sisanya sekitar 2 juta ton impor. Hal ini sangat ironis mengingat pasokan baja domestik kelebihan sampai 2,5 juta ton atau 50 persen dari produksi riil sekitar 4 juta ton per tahun. Kelebihan pasokan tersebut menyebabkan industri baja memasuki fase rawan. Produk baja yang tidak terserap pasar, adalah jenis long product dan flat product segala ukuran.

Tidak terserapnya pasokan baja domestik diakibatkan oleh :
· Rendahnya penyerapan baja pada proyek infrastruktur,
· Serbuan baja impor illegal
· Praktek dumping negara lain

Proyek infrastruktur seharusnya mengutamakan produk baja nasional. Pemerintah akan segera mengeluarkan tata niaga impor baja. Dalam materi pokok tata niaga impor baja, disepakati bahwa impor baja hanya bisa dilakukan oleh importir produsen dan importir terdaftar. Ada 202 pos tarif yang dicantumkan dalam tata niaga tersebut. Impor baja yang diperketat adalah yang sudah diproduksi di Indonesia, misalnya baja lembaran canai panas atau hot rolled coil (HRC), baja lembaran atau hot rolled plate (HRP), dan besi beton. Tata niaga impor baja itu juga membatasi impor baja dilakukan di pelabuhan tertentu. Sedangkan untuk jenis baja yang belum bisa diproduksi di Indonesia tidak diatur dalam tata niaga. Jenis baja yang harus diimpor adalah stainless steel atau baja untuk komponen otomotif.

Data Departemen Perindustrian, produksi nasional industri baja tahun 2008 sebesar 8,9 juta ton per tahun dengan tingkat utilisasi 59,8 persen. Namun, krisis ekonomi menyebabkan produksi baja kian turun, dari 4,16 juta ton menjadi 4,08 juta ton.

Industri baja merupakan salah satu sektor industri yang terkena dampak krisis ekonomi global. Maraknya impor produk besi dan baja menyebabkan 14 pabrik paku bangkrut pada akhir tahun 2008. Pabrik-pabrik itu mengurangi produksi karena permintaan menurun. Tahun 2009 utilisasi pabrik besi dan baja tinggal 20-40 persen.

Pemerintah akan melakukan pertemuan dengan pengusaha dan Bank Indonesia. Pertemuan itu untuk membahas langkah skenario penyelamatan industri yang dinilai rawan. Terutama untuk industri manufaktur yang pemakaian tingkat produksinya (utilisasi) sudah di bawah 50 persen dan industri yang kandungan ekspornya jeblok.
(sumber : Niekke Indrietta, http://www.korantempo.com/, 20 Februari 2009)

Globalisasi Perdagangan Dunia
Datangnya era globalisasi ibarat cambuk api bagi sektor ini untuk keluar dari sangkar kegelapan. Dalam lingkaran rezim globalisasi yang sarat oleh proyek ekonomi neoliberal, pasar didoktrin sebagai panglima. Untuk menguasai pasar, produsen baja dituntut lebih kreatif dan tangguh agar bisa memenangkan persaingan. Mereka harus mampu menguasai perangkat teknologi produksi dan teknologi informasi (TI) yang pada saat bersamaan tengah mengalami revolusi besar. Globalisasi terbukti mampu mengubah segalanya termasuk memacu laju pertumbuhan ekonomi dunia. Sektor baja hanyalah salah satu industri yang mengalami fase renaissance (pencerahan) akibat datangnya kekuatan besar ini.

Laju pertumbuhan ekonomi dunia yang kian stabil, menggiring peningkatan konsumsi baja global ke titik tertinggi akibat pertumbuhan sektor konstruksi yang melambung, terutama di wilayah-wilayah pasar baru, khususnya China. Sejak 2001, pertumbuhan pasar baja telah melampaui 7,5%. Pada saat yang sama, sektor baja mulai menjadi industri manufaktur yang kian menguntungkan karena harga baja di pasar global terus meningkat. Bahkan pada 2011, harga HRC/CRC (baja lembaran panas/baja lembaran dingin) diprediksi bakal mencapai di atas US$600 per ton, terutama di Uni Eropa.

Aliansi Strategis Industri Baja Dunia
Laporan terbaru yang dilansir International Iron and Steel Institute (IISI) menyimpulkan kondisi industri baja dunia saat ini sedang bergairah. Tindakan ekspansi lewat merger, akuisisi, dan konsolidasi terjadi di mana-mana. Fenomena ini terjadi sejak memasuki milenium kedua.
Pada era 1950-an, kondisinya sangat bertolak belakang. Industri baja global di masa itu mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) karena terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara produksi dan konsumsi sehingga produsen sulit berekspansi. Situasi ini sempat memicu terjadinya stagnasi pertumbuhan industri baja global.
Akibatnya, harga baja dunia pernah mencapai titik terendah yakni berkisar US$90 hingga US$100 per ton, yang bertahan dalam rentang waktu cukup lama.
Rentetan tersebut secara otomatis berimbas ke dalam tubuh para pemainnya. Para pemegang saham perusahaan baja mendapatkan keuntungan yang tidak sesuai harapan akibat return yang terlalu kecil.

Tabel 5 Produsen baja terbesar di dunia (maaf format berantakan, tdk bisa ditampilkan)

Pada milenium II ini, sisa-sisa fase pencerahan itu ternyata melahirkan ide baru berupa tahap konsolidasi. Pada tahap mutakhir ini perusahaan-perusahaan baja besar yang memiliki satu visi dan misi menjalin aliansi strategis. Penyatuan itu mendorong industri baja dunia bisa memuluskan program restrukturisasi besar-besaran yang meliputi sumber daya manusia, manajemen organisasi, hingga mesin dan peralatan produksi. Salah satu yang paling fenomenal adalah kelahiran Arcelor-Mittal di panggung global.
Arcelor lahir dari merger tiga perusahaan baja raksasa Uni Eropa yakni Arceralia (produsen baja Spanyol) berkapasitas 10 juta ton per tahun, Arbed (Luxemburg) berkapasitas 14 juta ton, dan Usinor (Prancis) berkapasitas 21 juta ton. Ketiga produsen baja besar tersebut bergabung menjadi Arcelor Steel. Produksi Arcelor pada 2002 tercatat mencapai 45 juta ton.
Mittal Steel adalah perusahaan yang lahir dari merger perusahaan baja keluarga Mittal dengan LNM Holdings NV, Ispat International, dan ISG-USA. LNM Holdings sendiri juga lahir dari merger beberapa produsen baja UE, Asia, dan Afrika (Iscor). Setelah merger berlangsung sukses, Mittal Steel menjadi produsen baja yang meraksasa. Saat ini kemampuan produksinya mencapai 70 juta ton setahun.
Arcelor dan Mittal berhasil merampungkan proses merger pada 25 Juni 2006 dengan nama Arcelor-Mittal. Kedua perusahaan baja raksasa itu menghasilkan produksi baja hingga 125 juta ton.
Sampai 2005, Arcelor tercatat sebagai produsen baja terbesar kedua di dunia, satu level di bawah Mittal yang menjadi produsen terbesar nomor wahid di dunia. Sampai detik ini, 'duet' Arcelor-Mittal masih menjadi penguasa tunggal pasar baja global.
Mega merger lain yang sekarang tengah berlangsung adalah antara Corus (grup Inggris -Belanda) dan Tata Steel (India) dengan nilai transaksi US$13,7 miliar. Konsolidasi Arcelor-Mittal merupakan sebuah tanda dimulainya era baru globalisasi di industri baja di mana Arcelor-Mittal dan Corus-Tata makin masuk dalam kancah 'perang terbuka' dan persaingan untuk menguasai pasar yang sedang tumbuh sekaligus berebut sumber baru bahan baku di muka bumi. Tata, kemungkinan akan memperluas usaha dengan membeli perusahaan kabel berkualitas tinggi dan pertambangan hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Posisi Indonesia
Tentu tak mudah bagi industri baja Indonesia untuk menghadapi rezim globalisasi yang kekuasaannya kian menggurita. Apalagi, Indonesia sudah pasti menjadi incaran para gurita tadi mengingat kandungan bijih besi dan potensi pasarnya demikian besar. Namun pada saat yang sama, posisi tawar Indonesia justru semakin lemah di hadapan mereka.
Apa sebabnya? Tidak lain karena struktur dasar industri baja nasional masih sangat lemah sehingga menyebabkan sektor hulu (up-stream) dan hilir (down-stream) tidak berkembang.
Menurut Menperin, industri otomotif nasional yang telah berkembang sejak 35 tahun lalu hingga sekarang masih harus mengandalkan pelat baja impor sebagai bahan baku utama.

Tabel Konsumsi baja dunia vs BRIC (Brasil, Rusia, India, China) -> maaf format berantakan tidak bisa ditampilkan

Minimnya investasi, kualitas produk dan sumber daya manusia yang relatif rendah, inefisiensi produksi dan manajemen, serta ketiadaan dukungan riset membuat nasib sektor baja nasional semakin tak berdaya di panggung internasional dari waktu ke waktu.
Tak heran di tengah konsumsi baja yang cukup besar yakni sekitar 6 juta ton (2006), industri baja nasional hanya mampu menyediakan sekitar 4 juta ton yang sebagian besar dipasok PT Krakatau Steel (PT KS) sebanyak 2,5 juta ton.
Dengan defisit produksi 2 juta, tentu dengan mudah produk baja impor membanjiri pasar dalam negeri. Apalagi dengan kapasitas produksi yang demikian besar, produksi mereka tentu sangat efisien sehingga harganya pun bisa jauh lebih murah. Akibatnya, pasar baja domestik terdistorsi dan keuntungan perusahaan lokal terus tergerus seiring kekuatan daya saing yang kian menipis.
Bahkan, PT KS pada 2006 terpaksa harus mengalami kerugian yang serius yakni mencapai Rp194 miliar. Ini merupakan situasi yang sangat ironis di tengah pesta pora industri baja global yang tengah menikmati keuntungan besar.

Lantas adakah konsep jitu untuk menyelamatkan sektor baja dari kehancuran?
Posisi kita amat lemah di hadapan produsen baja dunia, tapi setidaknya kita masih memiliki sumber bahan baku bijih besi yang masih bisa dioptimalkan.
Potensi Deposit Bijih Besi Indonesia
Menurut data Kementerian ESDM, bumi Indonesia memiliki kandungan bijih besi tak kurang dari 320, 43 juta ton. Namun sayangnya, deposit yang sangat besar ini masih berada di tempatnya dan belum bisa dimanfaatkan karena membutuhkan investasi besar.
Wapres Jusuf Kalla pun telah meminta PT KS agar secepatnya mengoptimalkan pemanfaatan sumber bijih besi di Kalsel untuk mengurangi ketergantungan impor dengan meningkatkan produksi baja. Bahkan Kalimantan diproyeksikan akan dijadikan pusat industri baja nasional. Sebuah ambisi sekaligus cita-cita besar yang patut didukung.
Tapi sekali lagi, langkah ini pun masih menyisakan masalah. Studi kelayakan bisnis yang dilakukan PT KS akhirnya macet, karena BUMN baja ini harus berurusan dengan sekelompok penguasa lahan pertambangan yang menjadi pemilik izin kuasa penambangan (KP) dari pemprov setempat.
Seharusnya, masalah sektoral ini bisa cepat dituntaskan apabila pemerintah memiliki political will yang kuat dalam memperkuat struktur industri nasional lewat pengembangan sektor baja secara serius.
Industri baja merupakan mother industry yang menjadi tumpuan sekaligus menentukan kekuatan struktur industri di suatu negara. Dengan bekal deposit bijih besi 320, 43 juta ton, sejatinya Indonesia dapat menjadi pemain baja yang diperhitungkan di kancah global karena memiliki 'bola' di tangan. Tinggal ke mana dan kepada siapa 'bola' ini akan diarahkan. (Sumber : Yusuf Waluyo Jati, www.unisosdem.org)

Urgensi Permasalahan
Dari uraian kondisi industri baja nasional diatas, maka industri baja nasional memiliki permasalahan yang cukup kompleks, serta tantangan kedepan yang cukup berat. Sementara permasalahan di Industri baja nasional masih mengalami berbagai keterbatasan, kita sudah dihadapi pasar bebas ASEAN-Cina yang segera harus diimplementasikan. Secara ringkas hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya pembenahan industri baja nasional diuraikan secara ringkas sebagai berikut.

Implementasi FTA Asean-China Tahun 2010
Setelah terkena dampak krisis global yang menyebabkan harga baja internasional turun lebih dari 50%, berbagai faktor penghambat pertumbuhan industri baja nasional kembali muncul. Salah satu hambatan besar dalam pertumbuhan industri baja nasional adalah penerapan Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China yang rencananya akan dilaksanakan awal 2010.
Ekonom Faisal Basri mengingatkan, yang diharapkan dari sektor industri baja nasional adalah agar dalam FTA ASEAN–China, sektor industri baja dimasukkan dalam kategori HSL (Highly Sensitive List), yang penerapannya dimulai pada 2018. "Apabila penerapan FTA ASEAN–China tetap dipaksakan, maka akan berakibat membanjirnya produk impor dari China yang tentunya akan menghancurkan industri baja nasional dan memunculkan PHK secara besar-besaran," kata Faisal menjelang seminar Free Trade Agreement ASEAN-Cina: Malapetaka Industri Nasional, Selasa (15/12).

Konsolidasi Global
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, industri baja dunia mengalami perubahan peta produksi dan penguasaan pasar karena adanya merger/aliansi strategis produser-produser baja papan atas. Dengan kapasitas yang semakin besar serta penguasaan pasar yang luas dari industri-industri baja dunia, maka produksi dapat dilaksanakan lebih efisien. Industri baja nasional harus merestrukturusasi diri menghadapi tantangan global seperti ini. Kesiapan dan kesamaan persepsi sangat dibutuhkan dalam menyikapi tantangan yang sudah didepan mata ini.

Menurunnya Daya Saing Industri Nasional
Berbagai polemik seperti disorganisasi struktur, tingginya kandungan impor, lemahnya penguasaan teknologi, rendahnya kualitas SDM, dan tingginya suku bunga perbankan menyebabkan industri manufaktur mengalami kemunduran. Kekosongan yang terjadi di struktur industri tengah (hollow middle) menyebabkan ketidakselarasan aliran industri dari hulu ke hilir. Hal ini menyebabkan daya saing Indonesia semakin merosot hingga ke peringkat 51 dari 55 negara (dalam catatan International Institute for Management Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008).
Sumber lain versi World Economic Forum menunjukkan daya saing Indonesia (54) masih lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Rendahnya daya saing itu menunjukkan betapa Indonesia masih belum siap menghadapi perdagangan bebas.

Lemahnya daya saing industri baja nasional dapat dilihat dari berbagai aspek yang saling terkait satu dengan lainnya, diantaranya adalah :
· Struktur industri hulu-hilir yang lemah
· Minimnya investasi
· Sumberdaya manusia yang rendah
· Inefisiensi produksi dan manajemen
· Tidak adanya dukungan riset

Permasalahan Dalam Proses Produksi dan Manajemen
Permasalahan dalam proses produksi dan manjemen secara umum dapat dikategorikan dalam :
Umum
• Produksi baja (2005) 4 – 5 juta ton, kebutuhan 5 – 6 juta ton (30 trilyun rupiah per tahun)
• Tersedotnya bahan baku dan energi ke Cina (1/3 konsumsi baja dunia = 350 juta ton/tahun)
• Tambang dan pengolah bijih besi dikuasai asing, pellet industri besi nasional diperoleh impor (100 %) sedangkan scrap baja 60-70 % impor
• Teknologi yang dikembangkan untuk pengolahan bijih besi tidak terintegrasi
• Cadangan bijih besi Indonesia cukup besar (1.300 juta ton)
• Harga produk baja Cina lebih murah 20 % (harga pasar dunia 400 USD/metrik ton, Cina 380 USD/metrik ton)

Aspek Energi
• Kebutuhan gas alam industri baja nasional terus meningkat (112.000 MMSCF pada tahun 2015), tahun 2005 43.00 mmscf
• Biaya energi (2005) sekitar 15 % dari biaya produksi
Aspek Proses Produksi
• Bahan baku impor : bijih besi, slab, billet, scrab, HRC, CRC mengalami kenaikan
• Kenaikan TDL listrik ( 17 % biaya produksi)
• Permasalahan efisiensi industri hulu dan hilir
• Permasalahan : pemilihan teknologi dan pengelolaan aset teknologi yang kurang tepat
• Kandungan lokal rendah
• Butuh visi kedepan dan TRM

Logistik Dan Fasilitas
• On time delivery tidak kompetitif
• Pant availability rendah
• Kurangnya pasokan iron ore pallet
• Kurangnya pasokan gas
• Lemahnya pengelolaan persediaan suku cadang

Manajemen Teknologi
• Supply bahan baku
• Daya beli
• Produk pengganti
• Pesaing baru
• Keunggulan industri
• Inovasi : peningkatan produktivitas, mengurangi biaya produksi, efisiensi bahan bakar/energi, memperbaiki kinerja lingkungan

Potensi Pengembangan Industri Baja Nasional
Indonesia dianugerahi sumberdaya alam yang sangat berlimpah diantaranya adalah bijih besi. Deposit sekitar 320,40 juta ton bijih besi merupakan potensi yang besar untuk menjadikan Indonesia menjadi produsen baja yang tangguh. Namun demikian sejumlah hambatan dalam investasi saat ini menghalang-halangi investasi baru di Indonesia selainnya melimpahnya produk baja dari Cina dengan harga yang miring. Selain potensi bahan baku yang berlimpah, Indonesia juga memiliki potensi pasar yang cukup besar, dengan membenahi kelemahan struktur industri baja nasional. Dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan baja per kapita nasional masih sangat besar.

Retrukturisasi Industri Baja Nasional
Untuk membenahi industri baja nasional menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi perlu dirumuskan kebijakan nasional yang terintegrasi dalam mengangkat dan meningkatkan daya saing industri baja nasional. Untuk itu dibutuhkan suatu kebijakan yang terintegrasi lintas sektor guna menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri baja di Indonesia secara sehat. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai industri baja nasional, dibutuhkan suatu kajian berupa audit teknologi secara menyeluruh untuk memberikan masukan berupa rekomendasi bagi penyusunan kebijakan restrukturisasi industri baja nasional yang melibatkan kerjasama lintas sektor dan kementerian.

Selasa, 09 Maret 2010

MASA DEPAN SUMATERA DITENGAH KRISIS (EKONOMI, SOSIAL, LINGKUNGAN) DAN SOLUSI PERENCANAAN SISTEM DINAMIK BERBASIS SPATIAL

Sri handoyo M
(Pengamat masalah Pengembangan Wilayah dan Lingkungan)

Pendahuluan
Perundingan mengenai perjanjian Iklim Global baru saja selesai di Kopenhagen. Usulan Indonesia yang secara sukarela akan mengurangi emisi karbonnya banyak memperoleh dukungan dari negara peserta. Pemanasan global yang terjadi ditengarai akibat meningkatnya kadar CO2 di atmosfir. Saat ini setahunnya masuk ke atmosfir sekitar 9,1 milyar metrik ton CO2 per tahun. Dengan tingkat emisi seperti sekarang ini, kadar CO2 di atmosfir dapat mencapai nilai 450 ppm sebelum tahun 2050, sedangkan kadar CO2 yang diharapkan memadai, oleh beberapa pakar ditetapkan ambang batas dibawah 350 ppm. Dari emisi CO2 yang dikeluarkan ke atmosfir tersebut, 30 % berhasil diserap oleh tumbuh-tumbuhan dan tanah, 25 % diserap lautan, kurang dari 1 % diserap oleh sedimen dan batuan, tetapi masih sekitar 45 % yang tetap berada di atmosfir. Penumpukan kadar CO2 secara berkelanjutan inilah yang mengakibatkan efek rumah kaca semakin terasa sehingga mengakibatkan dunia menjadi semakin panas.
Peningkatan emisi gas CO2, merupakan salah satu dampak lingkungan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kegiatan pembangunan ekonomi yang terus meningkat. Peningkatan aktivitas ekonomi yang dicerminkan dengan nilai pertumbuhan ekonomi, diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas seperti penciptaan lapangan kerja baru, pengurangan jumlah penduduk miskin, peningkatan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta pendapatan per kapita. Namun demikian, sukses dalam pembangunan ekonomi dan sosial juga akan membawa dampak ikutan berupa penurunan kualitas lingkungan, dimana hal ini akan memberikan dampak balik (feed back) dan mengoreksi kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak dapat mencapai nilai sebagaimana yang diinginkan. Mengejar nilai pertumbuhan ekonomi yang ideal adalah menjadi tujuan setiap negara atau wilayah untuk menjaga keseimbangan antara memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas dengan menjaga keseimbangan lingkungannya. Tulisan berikut ini akan memberikan gambaran bagaimana mencari nilai pertumbuhan ekonomi yang ideal sehingga memenuhi unsur mensejahterakan masyarakat dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan contoh kasus wilayah Pulau Sumatera.

Kondisi Pulau Sumatera Saat Ini
Wilayah Sumatera adalah wilayah yang memiliki proprosi perekomian terbesar kedua setelah Jawa – Bali dalam sistem perekonomian nasional, yakni sebesar 22 % (tanpa migas sebesar 19 %) dari total PDRB nasional pada Tahun 2007. Sebagai akibatnya perubahan ekonomi wilayah Sumatera akan mencerminkan perubahan ekonomi nasional serta akan berdampak pada ekonomi wilayah lainnya.

Tabel 1. Share PDRB Pulau terhadap Nasional
Sumber Data : BPS

Wilayah Sumatera saat ini telah berada pada kondisi daya dukung sumber daya fisik alam yang semakin menurun. Ketersediaan sumber daya air sudah memasuki tahap defisit dibandingkan dengan kebutuhannya, oleh karenanya perlindungan terhadap sumber-sumber air menjadi salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Sumatera.
Disatu sisi Wilayah Sumatera adalah lumbung pangan, sementara disisi lain alih fungsi lahan pertanian untuk perkebunan, khususnya sawit di wilayah ini berlangsung sangat pesat. Untuk mempertahankan tingkat produksi tanaman pangan di wilayah ini, maka mempertahankan lahan pertanian produktif menjadi aspek penting dalam pengembangan wilayah Sumatera.
Wilayah Sumatera memiliki jumlah penduduk nomor dua terbesar setelah Jawa-Bali dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Konsekuensi perkembangan penduduk yang tinggi adalah berkembang pesatnya kawasan perkotaan. Perkembangan kawasan perkotaan yang tidak terkendali mengakibatkan meluasnya lahan terbangun perkotaan (urban sprawl) yang pada gilirannya mengakibatkan terkonversinya lahan-lahan pertanian produktif. Oleh karena itu upaya pengendalian kawasan perkotaan perlu menjadi peerhatian dalam pengembangan wilayah Sumatera.
Dengan berlakunya Undang-undang no 26 tahun 2007, maka setiap kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang diharuskan memeprehatikan RTRW. Pelanggaran terhadap RTRW akan mendapatkan sanksi yang cukup keras. Oleh karena itu pengembangan wilayah Sumatera tidak dapat terlepas dari RTRW Pulau Sumatera.
Wilayah Sumatera merupakan salah satu lokasi prioritas rencana pengembangan infrastruktur nasional. Rencana pembangunan jalan tol dan sistem energi mejdai target pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan untuk dilaksanakan mulai tahun 2009. Oleh karena itu dampak pembangunan infrsatruktur yang siap dilaksanakan tersebut menjadi aspek penting dalam perumusan skenario pengembangan wilayah Sumatera.

Pendekatan Sistem Dinamik
Prof. Forester dari MIT sudah sejak lama (sekitar 1970-an) menulis dalam bukunya “The Limit to Growth” mengenenai keterbatasan pertumbuhan bumi kita ini. Menggunakan metode Sistem Dinamik (kadang kala dikenal sebagai model bak mandi, karena mensimulasikan perubahan ibarat bak mandi yang memiliki kapasitas tampung tertentu) yang dikembangkan sejak tahun 1950-1n, Forester mensimulasi menggunakan komputer pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan, keterbatasan sumberdaya dan dampak pencemaran lingkungan dalam Model Dunia yang disusunnya. Penerus Forester juga dari MIT yang menggeluti Sistem Dinamik, Prof Sterman juga menggunakan metode ini untuk mensimulasikan perubahan iklim akibat pemanasan global.
Di Indonesia, metodologi ini banyak dikembangkan untuk mensimulasikan fenomena perubahan lingkungan atau dalam sistem manajemen perusahaan. Para perencana pembangunan baik pusat maupun daerah umumnya masih menggunakan pendekatan linier, dan belum menggunakan pendekatan sistem dengan umpan baik sebagaimana dalam metodologi sistem dinamik. Untuk daerah-daerah yang baru tumbuh, pendekatan linier dalam pendekatan perencanaan pembangunan memang masih cukup valid, tetapi tidak demikian untuk daerah-daerah yang telah dewasa dalam siklus pertumbuhannya. Metode sistem dinamis merupakan metode non linier yang didasari oleh sistem dengan umpan balik, sehingga apa yang terjadi di suatu masa akan mempengaruhi perilaku manusia untuk melakukan tindakan dimasa selanjutnya. Perbedaan mendasar antara sistem dinamik dengan analisis secara linier adalah tidak dikenalnya variabel bebas. Dalam sistem dinamik, semua variabel dianggap saling terkait antar satu dengan lainnya. Akibatnya, analisis menjadi cukup kompleks sehingga membutuhkan bantuan komputer untuk mensimulasikannya. Untungnya saat ini telah banyak dipasarkan paket program untuk mensimulasikan metode sistem dinamik yang dikemas secara “user friendly” seperti “Powersim” dan “Stella”.
Pendekatan sistem dinamis telah dicoba untuk menskenariokan pengembangan wilayah Pulau Sumatera dengan keterkaitan antar variabel sebagaimana terlihat pada diagram berikut.

Gambar 1. Keterkaitan Antar Variabel
Sumber : Hasil Analisis, 2009

Perkembangan Pulau Sumatera Sesuai Perkembangan Saat Ini
Pulau Sumatera memiliki banyak potensi ekonomi yang belum dikembangkan. Dengan mengacu pada peretumbuhan ekonomi eksisting (sekitar 4 % tahun 2007), maka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 akan mencapai nilai 4,67 %. Dengan kondisi seperti saat ini, maka struktur ekonominya adalah sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur Ekonomi Pulau Sumatera
(bussiness as usual)
Sumber : Hasil Simulasi Menggunakan Sistem Dinamik, 2009

Dari gambar diatas terlihat beberapa sektor yang persentasenya terhadap total GDP Sumatera naik adalah sektor Listrik, air dan Gas, sektor konstruksi, sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, serta sektor jasa lainnya. Sedangkan sektor-sektor yang persentasenya turun adalah : pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri pengolahan.

Tabel 2. Share PDRB Sektor Terhadap PDRB Total

Sumber : Hasil Simulasi Kondisi Eksisting menggunakan sistem dinamik, 2009

Dengan tingkat pengangguran yang tinggi saat ini serta bertambahnya angkatan kerja baru setiap tahunnya, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Jika mengacu pada konsisi eksisting, hasil simulasi eksisting memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Sumatera sebagaimana terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Hasil Simulasi Pertumbuhan Ekonomi (Bussiness as Usual)
Sumber : Hasil Simulasi Sistem Dinamik, 2009

Jika kita melihat dampak penyerapan tenaga kerja-nya, maka dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini perlu untuk ditingkatkan karena hingga tahun 2025 tingkat pengangguran-nya masih cukup tinggi (diatas 15 %) walaupun trend-nya menurun setelah tahun 2020 (lihat gambar 4)
Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap beberapa indikator sosial ekonomi dan lingkungan dapat dilihat pada gambar 4. Indikator sosial ekonomi dapat terlihat dari perkembangan PDRB/kapita yang mencapai mendekati 14 juta rupiah tahun 2025, sedangkan indikator kesejahteran terlihat dari nilai IPM dan tingkat pengangguran. Indikator lingkungan dapat dilihat dari ratio lahan hijau dan hutan lindung terhadap total luas lahan. Luasan lahan hijau dan hutan ini berkorelasi langsung terhadap kemampuan alam untuk menyerap emisi karbon.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakan pertumbuhan ekonomi ini bisa ditingkatkan ? Kalau bisa, seberapa besar sehingga tidak menimbulkan dampak yang merusak bagi generasi mendatang ?

Gambar 4. Hasil Simulasi (Bussiness as Usial)
Sumber : Hasil Simulasi Sistem Dinamis, 2009

Dengan mencoba mensimulasikan berbagai nilai pertumbuhan ekonomi, serta mengevaluasi dampaknya, maka dapat diskenariokan pembangunan Sumatera yang dapat memberikan hasil yang optimal baik untuk kesejahteraan masyarakat maupun kelestarian lingkungan.

Skenario Pengembangan Pulau Sumatera
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sangat dibutuhkan secara nasional untuk menyelesaikan masalah pengangguran, kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, share perekonomian terbesar dipikul oleh Pulau Jawa-Bali (62 %) dan Pulau Sumatera (22 %), sehingga pertumbuhan ekonomi di kedua pulau ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ditingkat nasional membawa konsekuensi dukungan pertumbuhan yang tinggi pula di Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi saat ini yang hanya mencapai 4,67 % pada tahun 2014 dan dalam model simulasi sistem dinamik yang disusun telah disimulasikan untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 5 %, 5,5 %, 6 %, 7 % dan 8 %, dimana hasil simulasinya dapat dilihat pada gambar 5.
Dari hasil simulasi terlihat jika diskenariokan pertumbuhan meningkat dari 5 % hingga 8 % pada tahun 2014, dengan meningkatkan nilai investasi, maka PDRB, PDRB per kapita, tingkat pengangguran dan IPM mengalami perbaikan kualitas yang cukup signifikan. Namun demikian, kulitas lingkungan akan mengalami penurunan, khususnya 25 hingga 100 tahun kedepan. Hal ini terlihat bahwa jika kita biarkan terjadi pertumbuhan ekonomi seperti saat ini tanpa adanya perbaikan terhadap kualitas lingkungan, maka terjadi degradasi lingkungan hingga kualitasnya 50 % dari saat ini. Tetapi dengan pertumbuhan tinggi (misal 8 % pada tahun 2014), jika tidak dilakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan maka kualitas lingkungan akan terdegradasi hingga 80 % (tahun 2025) dan tinggal sekitar 20 % pada tahun 2105, walaupun dengan pertumbuhan ini tingkat pengangguran dapat diturunkan hingga sekitar 2 % pada tahun 2025.
Demikian pula dengan ratio kawasan hutan terhadap lahan total yang mencerminkan kemampuan untuk menyerap emisi karbon. Jika saat ini ratio kawasan hutan (kawasan terbuka hijau) masih diatas 0,3 terhadap luas lahan total, maka dengan skenario pertumbuhan rendah (4 – 5,5 % tahun 2014) masih mampu dipertahankan diatas 0,2 – 0,25 % 100 tahun kemudian, tetapi jika pertumbuhan tinggi (antara 7 – 8 %) maka 100 tahun kemudian lahan hijau yang tersisa tinggal sekitar 0,05 – 0,10.

Tabel 3. Dampak Skenario Pertumbuhan
Sumber : Hasil Analisis, 2009

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, skenario pertumbuhan akan membawa dampak ekonomi dan kesejahteraan yang positip, tetapi akan dibatasi oleh adanya keterbatasan lingkungan sebagaimana terlihat pada tabel 3.

Gambar 5. Hasil Simulasi (Skenario)
Sumber : Hasil Simulasi Sistem Dinamik, 2009

Perubahan Pola Ruang
Dengan luas wilayah yang lebar dan tingkat keberagaman yang tinggi, maka konsep pembangunan nasional sudah selayaknya memperhatika aspek keruangan. Saat ini mulai dilakukan penyusunan konsep dan rencana pembangunan yang berbasis ruang. Dengan perkembangan teknologi analisis keruangan, khususnya pemanfaatan data-data dari citra satelit, maka mengintegrasi simulasi sistem dinamis dengan analisis sistem informasi geografis dapat dilakukan, sehingga bukan saja pertumbuhan dan perbaikan kulitas pembangunan yang ditingkatkan tetapi dapat dilakukan sebaran pertumbuhan dan kesejahteraan keseluruh wilayah.

Gambar 6. Perubahan Pola Ruang Hasil Simulasi Spatial Dinamik
Sumber : Hasil Analisis, 2009

Kesimpulan
Dari hasil simulasi yang dilakukan, terlihat bahwa fenomena pengembangan wilayah atau pembangunan nasional tidaklah linier, dimana masing-masing variabel pembangunan terkait satu dengan yang lain, sehingga perlu dipertimbangkan pendekatan sistem dinamik. Untuk wilayah yang luas seperti Indonesia, pendekatan pembangunan secara sektoral harus dikombinasikan dengan analisis kewilayahan dengan pendekatan spatial dinamik.

Perjalanan ke Gorontalo, 2007

Kami dari BPPT, sebenarnya merencanakan perjalanan dinas ke Propinsi Jambi, Kalimantan Selatan dan Gorontalo pada tahun 2006, tetapi karena kesibukan kami semua untuk ke Gorontalo baru dapat dilaksanakan tahun 2007.

Kami berangkat ber 6 yaitu :
Pak Hasan/HMD (direktur kami)
Saya sendiri, SHM (kabid)
Yanto Sugiharto/YS
Susalit/SS
Ermawan/ER
Miaji/MJ

Pesawat rencananya takeoff dari Sukarno Hatta, terminal 1A pada pukul 05.30, sehingga kami telah sampai di Bandara pagi-pagi sekali. YS, SS, ER dan MJ telah ada di bandara pada pukul 4 pagi, ternyata walaupun sudah banyak penumpang yang menunggu, pintu gerbang masih ditutup. Pintu gerbang ke terminal 1A baru dibuka pukul 4.30, dimana tidak lama setelah itu saya tiba di bandara. Pak HMD tiba kira-kira pada waktu yang sama tapi menunggu diluar. Setelah antri yang cukup panjang untuk check in akhirnya kami selesai juga dan saya menghubungi pak HMD untuk masuk ke dalam bandara. Di bandara, beberapa teman langsung ke kantin membungkus makanan untuk dimakan di pesawat (kami menggunakan Lion Air, yang tidak menyediakan makanan di pesawat). Pesawat ternyata mengalami delay selama 30 menit sehingga kami baru bisa boarding pada puluk 6 pagi. Pesawat berangkat kira-kira pada pukul 6.30 dan transit di Makasar sekitar 30 menit sehingga kami tiba di Gorontalo sekitar pukul 11.30 siang (WITA, 1 jam lebih cepat dari Jakarta). Setelah cukup lama menunggu bagasi (30 menit) akhirnya kami berhasil keluar dari bandara.

Kami kebetulan dijemput oleh pemda Gorontalo (Dinas Pertambangan dan Energi) serta dari PLN. Diluar dugaan kami semua, ternyata jarak dari bandara ke kota Gorontalo cukup jauh, sekitar 40 km sehingga kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit ke Kota Gorontalo. Sesampai di Kota Gorontalo, kami singgah dulu makan siang di RM Borobudur. Dari RM, kami check in di Hotel Citra tidak jauh dari RM. Setelah itu kami langsung ke Bappeda Propoinsi Gorontalo. Kantor Bappeda ternyata menyatu dengan Kantor Gubernur Propinsi Gorontalo yang terletak diatas bukit. Rencananya diatas bukit ini akan dibangun perkantoran propinsi yang baru.

Propinsi Gorontalo, baru dibentuk sebagai propinsi sendiri tahun 2001 dan rencananya pada tanggal 16 Peb ini merayakan ulang tahunnya yang ke 6. Gubuernur pertama Fadel Muhamad, ternyata terpilih kembali sebagai gubernur melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sebelum propinsi Gorontalo menjadi propinsi tersendiri, wilayah ini menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Utara, dan merupakan daerah terisolir. Sejak menjadi propinsi tersendiri, akses ke wilayah ini cukup baik, terutama penerbangan dari Jakarta. Propinsi yang mengunggulkan jagung sebagai produk unggulannya perekonomiannya cukup menggeliat sejak dinyatakan sebagai propinsi. Hal ini saya pikir tidak lepas dari peran Fadel, yang merupakan pengusaha dan tokoh politik dengan link dan jaringan cukup luas di tingkat nasional.

Kami tiba di kantor Bappeda pada pukul 14.30 dimana kami sudah ditunggu oleh Kepala Bappeda dan undangan dari dinas-dinas terkait.

Pertemuan diawali paparan oleh Kepala Bappeda Gorontalo, dilanjutkan oleh Pak HMD dan SHM. (materi dan tujuan kami ke Gorontalo saya pikir tidak begitu menarik untuk dicatat disini). Setelah selesai paparan dan tanya jawab yang cukup panjang, akhirnya kami bisa juga keluar dari pertemuan sekitar pukup 16.30. Kami sempat berfoto di lobi kantor gubernur yang memiliki view yang sangat bagus ke arah danau limboto. Setelah selesai berfoto dan mengambil video, kami kembali ke hotel untuk istirahat.

Sampai hotel saya sempat tidur sebentar, kemudian mandi dan duduk-duduk diluar hotel. Pak HMD keluar dari kamar dan mengajak makan karena waktu siang makannya tergesa-gesa, sehingga tidak kenyang. Kami menunggu pak SS yang baru dibangunkan,kemudian kami jalan kaki untuk mencari tempat makan di sekitar hotel. Kami makan di RM Sari Laut Mas Joko, dan kami memesan ikan serta cah kangkung dan cumi goreng. Habis makan kami kembali ke hotel untuk mengganti sepatu dengan sandal, kemudian kami naik bentor untuk jalan-jalan. (Bentor : kendaraan becak bermotor, dimana motor biasa tetapi roda depannya diganti dengan tempat duduk penumpang).Awalnya kami mencari durian dan makan hingga kenyang di dekat perapatan Gelael. Setelah itu kami jalan-jalan menggunakan bentor ke arah pantai. Kami tidak begitu mengenal daerah ini karena kami semua baru pertama kali ke Gorontalo. Kami dibawa oleh pengemudi Bentor kearah pelabuhan. Ternyata lokasinya cukup temaram dan banyak pasangan-pasangan pacaran diwarung-warung minuman dan jagung bakar. Bahkan beberapa warungnya kami liat menyediakan fasilitas karaoke. Setelah kami menghirup udara pantai sambil melihat view pelabuhan Gorontalo, kami kembali ke hotel, karena sudah mulai dingin dan angin cukup kencang. Selain itu, kami juga kurang tiduk karena berangkat dari Jakarta sangat pagi (jam 3 pagi sudah berangkat dari rumah).

Sampai di hotel, saya sempat menonton beberapa acara TV sebelum akhirnya tidur pada pukul 24.00 (Wita, jam 23.00 waktu Jakarta).

Hari kedua (15 Peb) di Gorontalo tim kami pecah 3, saya dan SS meninjau solar sel yang dipasang BPPT, HMD,ER, YS ke PLN dan MJ ke BPS. Saya dan SS ditemani oleh staf Dinas Pertambangan dan Enegi dan seorang rekanan/kontraktor untuk meninjau PLTS di 2 dusun di Kabupaten Gorontalo.
Perjalanan kami cukup panjang juga, butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke lokasi. Sesampai di lokasi kami dibawa untuk melakukan wawancara dengan penduduk penerima PLTS. PLTS yang ada baru dipasang 2 bulan. Di lokasi yang kami kunjungi terdapat 2 dusun yang dipasang PLTS masing-masing 50 unit. Masyarakat yang dipasang PLTS adalah masyarakat tidak mampu yang rumahnya terletak jauh di gunung (kira-kira 5 km dari jalan raya) dan belum ada jaringan PLN. Beberapa penduduk yang kami temui berbicara dengan bahasa daerah, dan pak kontraktor yang menerjemahkannya. Pada umumnya penduduk cukup puas dengan PLTS yang dipasang dan minta semua warga dipasangi PLTS. Proyek PLTS yang kami kunjungi merupakan kerjasama BPPT dan pemprov. Sistem pengelolaannya adalah melalui kelompok dengan iuran pangkal 50.000 rp dan iuran bulanan 5.000 rupiah. Dibandingkan dengan lampu minyak atau petromaks (1 petromak butuh 2.000 rupiah per hari), maka pemasangan PLTS ini memang tergolong murah. Kapasitas yang terbatas 150 watt telah terpasang 3 titik lampu neon masing-masing 10 watt. Masyarakat telah disosialisasikan dengan cara-cara pemanfaatan teknologi ini dan untuk setiap kelompok akan ada teknisi yang dilatih oleh pemda. Walaupun kecil, usaha ini sangat membantu masyarakat terutama anak-anak untuk dapat belajar dan mengaji pada malam hari. Karena PLTS yang kami kunjungai baru dipasang, kami tidak mendapatkan keluhan ataupun kelemahan dari sistem yang dipasang, kecuali kekurangan dalam hal jumlah dengan permintaan.

Masyarakat didaerah ini umumnya petani (padi) dan pekebun (jagung) kami lihat juga beberapa tanaman kelapa dalam, kopi, dan kebun jati. Walaupun tidak dominan, tetapi tanaman jagung sudah ditanam oleh hampir seluruh masyarakat Gorontalo.

Sebenarnya kami akan melihat PLTS lain, tetapi karena kami janji bertemu pada saat makan siang, maka kami kembali ke Gorontalo jam 11.30. Kami tiba di RM padang dekat Dinas Pertamben jam 13.00. Kami diminta bergabung dengan tim lain yang sedang makan di RM Pondok Indah, tetapi kami sudah terlanjur memesan makanan.

Kami kemudian bergabung dengan Tim lainnya dan kami menjemput pak MJ untuk kunjungan ke Sentra Jagung di Limboto (Kab. Gorontalo). Kami menggunakan 2 mobil. 1 mobil Dinas Pertamben dan 1 mobil PLN. Karena kami harus ke hotel dulu, maka kami tidak bertemu di lokasi yang kami tinjau tetapi setelah kembali dari sentra jagung baru kami bertemu di Kota Limboto (ibukota kab gorontalo) tepatnya dibawah menara. Kami naik menara yang tingginya sekitar 70 meter (menggunakan lift) dan menikmati pemandangan kota dengan latar belakan danau limboto. Turun menara kami menggunakan tangga biasa dan sesampainya di bawah kami membeli duren dan langsat untuk dinikmati ditempat. Setelah puas menikmati duren, kami kembali ke hotel.

Setelah istirahat dan mandi sore, kami makan malam di RM yang menyajikan coto makasar, sop konro dan ikan (RM Pangkep). Cukup lama kami disini menikmati masakan khas Sulsel, termasuk es palubutung. Setelah kenyang kami jalan ke Supermarket Gelael, dan kembali makan duren ditempat kemaren. Selesai makan duren kami mencari-cari kaos gorontalo untuk oleh-oleh tapi tidak menemukan. Kami kembali ke hotel naik bendi sambil melihat-lihat kota. Sesampainya di hotel, kami langsung beristirahat sambil menonton TV. Rencananya kami besok akan mencari oleh-oleh (Pia Gorontalo, mirip bakpia Jogja, hanya lebih besar, berisi coklat, keju, kacang hijau, dll) sebelum ke bandara untuk kembali ke Jakarta.

Pagi sekali saya sudah bangun, ketika keluar di lobi, beberapa teman sudah melakukan lari pagi. Kami bersiap untuk berangkat sambil memesan oleh-oleh disamping hotel. Kami menunggu mobil dari PLN yang akan mengantar ke bandara sambil ngobrol-ngobrol. Dalam perjalanan ke bandara kami mampir di tempat kerajinan tenun tradisional dan membeli oleh-oleh kain dan kerudung tradisional Gorontalo.

Perjalanan ke Sangatta, 2007

Perjalanan saya ke Sangatta adalah dalam rangka menyelesaikan pekerjaan Penyusunan Masterplan Pelabuhan milik KPC di :
Tanjung Bara dan Lubuk Tutung. KPC merupakan perusahaan tambang batubara terbesar di Kabupaten Kutai Timur memiliki 2 areal konsesi penambangan yaitu di Kecamatan Sangatta dan Kecamatan Bengalon. Perjalanan saya kali ini adalah yang ke 2.

Tim kami dari Jakarta ada 3 orang, yaitu :
1. Pak Joko Sutirto, dari Surveyor Indonesia
2. Pak Marmono dari Universitas Borobudur
3. Saya sendiri (SHM)

Pak Joko merupakan Project Manajer di pekerjaan ini sedamgkan saya sendiri sebagai Team Leader. Pak Marmono, merupakan tenaga ahli di bidang Keamanan dan Keselamatan Pelayaran di Pelabuhan. Pak Joko, lulusan ITS perkapalan adalah mantan karyawan PT. DI sedangkan pak Marmono lulusan Sipil ITS pernah bekerja di Angkatan Laut sebelum akhirnya mengundurkan diri dan bekerja sebagai dosen di Universitas Borobudur. Tim kami yang lain tidak bisa berangkat (Heri, Yoyok Gendut, Yudi, Nunu, Wanto, dan Hayun)

Sebagaimana perjalanan pertama, kami berangkat dari Jakarta menggunakan Lion Air jam 6.00 dan tiba dai Balikpapan pada pk. 9.00 waktu setempat. Untuk penerbangan ke Sangatta (Bandara Tanjung Bara) kami menggunakan penerbangan Airfast milik KPC, dimana kami baru bisa chek-in pk. 11 waktu setempat dan pesawat akan berangkat pk. 15.00. Sambil menunggu waktu check-in kami makan di cafetaria bandara. Pada pk. 11 kami check-in dan ternyata kami ditawari untuk naik pesawat yang akan berangkat karena masih ada bangku kosong. Rencananya kami akan mutar-mutar dulu di Balikpapan sebelum terbang ke Tanjung Bara, tapi berhubung kami dapat berangkat lebih awal, maka kami segera berangkat sekitar pk. 12.00.

Kami tiba di bandara Tanjung bara sekitar pk.13.00 dan sudah dijemput oleh sopir dari perusahaan penyewaan mobil milik pak Muchtar. Pak Muchtar merupakan pengusaha dibidang logistik, pengiriman barang dan pengerah tenaga kerja dan mantan karyawan KPC. Pak Muchtar merupakan pengurus partai PKPI, partainya pak Edi Sudrajat. Kami juga dibantu beliau dalam rangka mengatur waktu untuk paparan didepan Pak Bupati.

Kami dijemput dan menurunkan barang di Camp Tanjung Bara milik KPC. Setelah itu, kami keluar areal KPC menuju Sangatta untuk membeli rompi dan makan siang di kota. Kami makan ditempat langganan kami, RM Jawa Timuran “Cak Ali”.

Setelah makan kami langsung ke mess dan istirahat(tidur siang). Karena kami dari Jakarta bangun pagi sekali, maka kami langsung tertidur dan bangun sekitar pk.18.00 waktu setempat dan kami sholat kemudian makan. Kami makan di cafe milik KPC berupa buffet ”all you can eat” . Kualitas bahan baku makanannya sangat baik hanya, kami yang biasa makan di Jakarta dengan cara masak dan rasa yang lain, merasakan masakannya tidak begitu enak, bahkan restoran Cak Ali kami nilai masakannya jauh lebih enak, walaupun di Cafe milik KPC tersedia berbagai aneka makanan. Cafe ini hanya buka pagi dan malam dimana kami dapat makan dan minum sepuasnya. (seperti RM Pronto atau Hart Chicken di Jakarta). Selesai makan kami kembali ke kamar dan menyiapkan pertemuan besok dengan Pak Lawrence (Manager Pelabuhan KPC).

Pada hari Rabu, kami dijemput sopir agak terlambat, dimana rencana kami ke kantor Pak Lawrence jam 08.00 tapi kami baru dijemput jam 9.00. Hal ini diakibatkan karena Pak Muchtar mobilnya ada yang terbalik di Balipapan, sehingga sopir yang menjemput kami dikirim ke sana. Rapat dengan Pak Lawrence cukup lama karena kami harus mengkonfirmasi angka-angka mulai dari BOR, kapasitas, alat, truck serta mencocokkan prediksi yang telah kami hitung. Dari tempat Pak Lawrence kami merencanakan untuk mengkonfirmasi arus muatan kapal logistik serta mengkonfirmasi prediksi yang kami lakukan. Kami disarankan bertemu dengan Pak Agung pada jam 13.30 dan Pak Oka besoknya pada pk. 08.00. Atasan Pak Lawrence sudah diganti yang tadinya Pak Somali, sekarang adalah Pak Agustinus Sagala. Pak Somali dipindah menjadi GM ditempat lain.

Selesai rapat kami ke kota untuk fotocopy dan makan siang. Kami mencari rumah makan yang baru dibuka (lupa namanya) tapi ini merupakan rumah makan pertama di Sangatta yang bergaya cafe.

Selesai makan kami langsung ke tempatnya Pak Agung. Ditempatnya Pak Agung kami mendiskusikan angka-angka, SOP, dan work flow serta permasalahan pengembangan pelabuhan jika arus barang meningkat. Selesai dari Pak Agung kami langsung menuju Mess untuk tidur siang (hal ini tidak bisa kami lakukan di Jakarta). Kami bangun dan makan pk.19.00 di Cafe KPC setelah itu ngobrol sampai jam 24.00. sebelum pergi tidur.

Hari Kamis, sewaktu kami makan pagi Pak Lawrence datang ke tempat makan. Dia kawatir kami tidak bisa masuk ke tempat Pak Oka, sehingga kami diantar Pak Lawrence untuk mendapat kartu Visitor. Setelah itu kami langsung meluncur ke M1 kantornya Pak Oka. Dikantor Pak Oka kami sudah ditunggu dan kami diskusi cukup lama hingga pk. 10.00. Dari tempat Pak Oka kami ke tempat Pak Muchtar dan diantar ke pak Muchtar ke Kantor Bupati di Bukit Pelangi untuk konfirmasi waktu. Ternyata, dari informasi protokol Bupati, jadwal Pak Bupati sudah penuh. Pak Muchtar menyarankan supaya Pak Joko bikin surat ke Pak Bupati segera supaya dapat dialokasikan waktu dan lokasi dapat di Jakarta atau Sangatta.

Dari Kantor Bupati kami balik ke Sangatta dan makan siang. Setelah itu kami ke kantor Pak Lawrence untuk mengembalikan berkas data serta mengambil data SDM. Data SDM ternyata belum lengkap, pak Lawrence hanya mengatakan pertambahan daya listrik akibat peningkatan kapasitas trestle conveyor dan ship loader dari 4.200 menjadi 8.000 ton perjam serta pengembangan double land conveyor dan pembangunan stockpile baru memerlukan tambahan daya PLTU sbesar 3 x 10 MW. Sebenarnya kami ingin keliling pelabuhan sekali lagi, tetapi berhubung Pak Lawrence juga kebetulan keluar dari lokasi, kami langsung ke Mess dan tidur siang. Pada saat kami bangun dan hendak mandi, ternyata kami dapati ledeng air mati, sehingga kami tidak bisa mandi. Kami makan di cafe, dan menanyakan perihal air ke pengurus wisma. Ternyata memang sedang ada kerusakan air. Kami kembali ke Mess, ngobrol sebentar, tidak lama kemudian ternyata ledeng sudah mengalir kembali. Saya langsung mandi, solat dan setelah itu mulai menuliskan catatan ini. Rencananya besok pesawat kami ke Balikpapan take off pk.07.20 sehingga 06.30 kami harus sudah ada di bandara Tanjung Bara.

Jum’at pk.05.00 waktu setempat saya sudah bangun, setelah solat dan mandi serta packing bagasi, kami makan pagi. Pk.06.30 mobil jemputn ke bandara datang. Kami angsung meluncur ke bandara Tanjung Bara yang tidak jauh dari camp. Pesawat take off pk. 07.30 dan tiba di Balikpapan pk. 08.30. Kami istirahat sebentar sambil minum kopi sebelum akhirnya meluncur ke kantor cabang SI di Balikpapan. Di kantor cabang SI, kami menemui Bpk. Sunu (mantan kacab SI di Samarinda) dan diskusi mengenai bagaimana mendapatkan rekomendasi gubernur. Kami solat jum’at pk.12.30 dan dilanjutkan dengan makan siang. Kami meluncur ke bandara pk. 03.00 dan sempat mampir ke pasar untuk beli cinderamata. Di bandara kami langsung check in dan pesawat boarding sekitar pk. 05.00.

Perjalanan ke Malinau, 2007

Malinau 17 – 19 April 2007

Perjalanan saya ke Malinau sebenarnya tidak saya rencanakan. Mantan Bos saya dulu, Pak Rofiq yang pada saat catatan ini saya tulis menjabat sebagai Deputi Kawasan Khusus di Kementrian PDT meminta saya ikut dalam perjalanan dinasnya ke Malinau. Kami jalan bertiga :

1. Pak Rofiq
2. Pak Noviar (salah satu Kabid di Kementrian PDT)
3. Saya sendiri (SHM)

Kami berangkat dari Cengkareng menggunakan Mandala sekitar pk.06.00. Bagi saya dan Pak Rofiq, perjalanan ke Malinau via Tarakan ini merupakan nostalgia ketika kami mengerjakan pekerjaan penyusunan Renstra Kabupaten Bulungan bersama Jaizul.

Dalam perjalanan, Pak Rofiq banyak menanyakan perkembangan di BPPT, saya juga ikut menanyakan masalahan PDT, terutama perkembangan mengenai isu di-reshufle-nya Pak Saifullah Yusuf.

Kami tiba di Bandara Tarakan sekitar Pk. 12.00 dan sudah dijemput oleh sekretars Bappeda Malinau (Pak Isnar). Di Bandara kebetulan kami bertemu di Ruang VIP dengan Bupati Malinau dan Pangdam Tanjungpura. Pak Rofiq sempat berbincang dengan kedua pejabat daerah ini. Setelah kedua pejabat daerah ini terbang, kami melanjutkan perjalanan dan mampir makan siang dulu di salah satu restoran Padang.

Kami berangkan dari Tarakan ke Malinau menggunakan speedboat milik Pemda yang berkekuatan 400 PK (2 x 200 PK) melalui pelabuhan tradisional/perusahaan. Dengan kapal bertenaga 400 PK ini, kami tiba sekitar pk. 17.00 (3 jam perjalanan). Saya teringat pengalaman saya ke Malinau 1997 (10 tahun lalu) dan waktu itu kami harus menempuh perjalanan selama 6 jam dari Tarakan ke Malinau. Di perjalanan selain sekretaris Bappeda, kami juga ditemani ajudan Bupati.

Tiba di Malinau kami sudah dijemput oleh Ketua Bappeda (Pak Yusmana, beliau asal Jawa Barat). Turun dari speedboat, kami langsung diantar ke Penginapan yang berada disamping sungai. Kami ngobrol-ngobrol/diskusi sebentar sambil minum kopi dan makan pisang goreng. Hal yang sangat ditekankan oleh pemda adalah pembangunan jalan di perbatasan. Setelah itu kami beristirahat untuk bertemu malam harinya.

Habis magrib, saya keluar kamar dan menonton tv sambil menunggu teman-teman dari Bappeda. Teman-teman Bappeda datang sekitar pk. 8.00, kami makan dan kemudian mendiskusikan permasalahan perbatasan Malinau serta peluang Kementerian PDT untuk membantu pembangunan kawasan ini. Dari diskusi, kelihatannya Pak Rofiq ingin membantu pengadaan piko-hidro dan akan menyelenggarakan seminar interdep di Malinau tahun 2008, sehingga semua sektor dapat ikut membantu Malinau. Teman-teman Bappeda menganggap tahun 2008 terlalu lama dan mengharapkan dapat dilaksanakan tahun 2007. Kami diskusi sambil menonton perjalanan ke perbatasan yang dilakukan oleh Tim Bappeda. Pak Rofiq ijin ke kamar duluan karena ingin menyiapkan pidato besok/sambutan besoknya. Rencananya, besok pertemuan akan diawali oleh sambutan wakil Bupati, paparan Ketua Bappeda dan paparan Pak Rofiq. Saya menyusul kemudian.

Besoknya, kami makan pagi di hotel sambil menikmati aliran sungai yang sedang pasang, rencananya kami akan pulang melalui dermaga hotel. Kami dijemput sekitar pk. 8.30 oleh Ketua Bappeda, diskusi sebentar dan langsung dibawa ke tempat wakil Bupati. Disana kami bertemu dengan Pak Kajari (Pak Sinuraya). Kami bertemu dengan Pak Wabub, ngobrol sebentar kemudian menuju Ruang Seminar. Di Ruang Seminar ternyata pesertanya sangat banyak, semua muspida ditambah dengan para karyawan pemda hadir sehingga ruangan penuh (100-an orang).

Sesuai dengan rencana, Pak Ketua Bappeda memaparkan konsep Gerbang Dema-nya (Gerakan Membangun Desa Mandiri). Setelah itu Pak Rofiq paparan mengenai program PDT dan rencana akan menggelar rakor di Malinau tahun 2008. Selesai Pak Rofiq paparan, diberi kesempatan untuk tanya jawab. Beberapa hal penting dalam wawancara ini adalah :

1. Pak Jalung (asisten 2 Bupati) meminta rakor sebaiknya tahun 2007 saja
2. Dinas Pertambangan dan Energi menanggapi masalah biaya mikrohidro dan piko hidro.
3. Pertanyaan lainnya, terutama pembangunan jalan

Pak Rofiq menjawab pertanyaan dengan sangat politis dan tidak menjanjikan hal-hal diluar kemampuang dan kewenangan Kementrian PDT. Permintaan banyak pihak yang menyangkut diluar kewenangan Kementrian PDT akan dibahas dalam rakor 2008, tetapi Pak Rofiq mengundang Tim Malinau untuk paparan di Jakarta sekitar Bulan Juni-Juli pada rapat Pokja Perbatasan di Jakarta. Selesai rapat, kami harus menunggu Pak Rofiq diwawancarai oleh wartawan sebelum akhirnya kami kembali ke hotel.

Di hotel kami melakukan makan siang dengan Tim Bappeda dan Kejaksaan. Saya banyak ngobrol dengan jaksa-jaksa muda yang baru ditempatkan di Malinau. Selesai makan siang, kami berkemas dan naik speedboat dari dermaga hotel kembali ke Tarakan.

Setiba di Tarakan, kami menginap di Tarakan Plaza. Kami makan malam di RM Bagi Alam, rumah makan yang dulu sering kami singgahi. Setelah makan, kami keliling kota dan kembali ke hotel untuk melakukan diskusi sebelum kembali ke ruang tidur.

Besok paginya, kami berkemas dan siap-siap pulang sambil mampir beli oleh-oleh ikan asin. Pak Yusmana sempat menitipkan booklet Gerbang Dema yang saya pesan.

Kami tiba di Bandara dan menunggu pesawat di ruang VIP, ditemani oleh sekretaris Bappeda dan stafnya. Ternyata istri sekretaris bappeda datang ke Tarakan dari Samarinda menggunakan pesawat yang akan kami naiki ke Jakarta. Kami pulang ke Jakarta dan saya naik bis pulang. Seperti biasa, saya naik bis sampai slipi, kemudian ganti Taxi ke Tomang.

wisata petuangangan dalam raker pat 2010

Raker PAT 2010 telah berlalu... pastilah banyak yang dapat diambil hikmahnya dari sana.
Bagi saya raker PAT yang baru lalu mengingatkan kenangan masa-masa orientasi mahasiwa waktu kuliah di ITB dulu. Bawa ransel isi batu bata, jalan kaki, merayap, jalan jongkok sambil dibentak-bentak, dsb......waktu itu saya bener-bener nggak habis pikir untuk apa hal ini dilakukan ?
Lulus dari ITB saya memimpin TIM survey ke Rawa Pasang Surut di Selatan Palembang. Karena biasa hidup di kota, maka saya sangat senang karena bisa bawa speedboat sendiri, beli udang dan ikan langsung dari nelayan, dimasak dikapal, masuk-masuk daerah rawa yang masih rawan dan eksotis, dsb (datangnya saya merasa seperti crocodile dundee, pulangnya seperti swamp thing). Selain hal yang menyenangkan, ternyata saya juga harus inspeksi (jalan kaki), jalan di titian, diatas gambut/tanah goyang, kadang manjat-manjat (persis monyet), serta harus menghadapi tim surveyor yang biasanya garang-garang. Saat itu saya benar-benar baru merasakan manfaat orientasi mahasiswa dulu....
Ngobrol dengan Kang Dude memang enak, karena dia menguasai medan untuk avonturir di Jawa Barat. Kami sempat berencana untuk melakukan “offroad” dari Jatinangor ke Lembang (Pak Miadji, Pak Kunto, Evi dan Doni sangat berminat). Kalau saya amati, Tim Outbound yang mengawal kita lumayan dalam hal menjual paket-peket wisata yang berbau tantangan. Salah satu paket yang saat ini digemari (termasuk oleh ibu-ibu arisan) di Bandung adalah “off road” menggunakan jeep/land rover, atau rafting. Rute maupun jalur wisata petualangan di Jabar telah teridentifikasi dengan baik. Saya jadi teringat waktu survey dengan teman-teman ke luar jawa-bali. Di Kalbar atau Kaltim misalnya waktu survey ke biro-biro perjalanan, sedikit sekali yang menjual paket wisata petualangan, malah yang dijual wisata ke Kuching (Malaysia) padahal perjalanan ke pedalaman kalimantan sangat menarik dan menantang, saya sempat bermalam di pedalaman kapuas hulu dengan tim pemda kalbar untuk meninjau taman nasional betung karihun di perbatasan dengan Malaysia. Potensi wisata disana sudah didatangi Turis, tetapi yang datang umumnya menginap di Malaysia, obyek wisatanya di Indonesia. Rupanya Malaysia lebih piawai dalam menjual potensi Indonesia dibandingkan masyarakat kita sendiri. Demikian juga waktu saya, Pak Doni dan Pak Miaji survey transport ke kepulauan Maluku dan Maluku Utara bersama-sama dengan Tim Transport, semua potensi wisata yang berlimpah sama sekali belum terkelola dengan baik. Andai saja ada orang-orang seperti Kang Dude, Pak Tri dkk di Papua, Maluku atau Kalimantan.........